AL FARABI

Biografi Singkat AL FARABI



1. BIOGRAFI AL FARABI
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
Dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utara, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah. Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.
Pada masa mudanya, di kota kelahirannya, al-Farabi banyak belajar beragam disiplin ilmu, mulai dari fikih, tafsir, hingga logika. Namun semua penjelasan gurunya tidak memuaskan dirinya. Al-Farabi kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad inilah, al-Farabi bertemu sekaligus belajar dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Al-Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj: belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemah filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam (juga seorang filosof Kristen). Al-Farabi bahkan sempat pergi ke Harran, daerah yang berada di wilayah tenggara Turki yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran ini pula lah, konon orang tua nabi Ibrahim as. lahir dan dibesarkan, sekaligus menjadi tempat lahirnya bapak para nabi itu

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922 M. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hampir semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.  Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik. Di Baghdad, Beliau berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.

3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80 tahun.

4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.  Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum). Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).

Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).

Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).
Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan:
1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.


b. Filsafat Politik Al Farabi
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa: setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.


c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’. Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

d. Filsafat Metafisika Al Farabi
Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.

1. Ilmu Ketuhanan
Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga, yaitu:
# Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
# Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (particulars), yaitu ilmu yang berdiri   sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya.
# Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.

2. Wujud
Al Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
# Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud yang nyata karena matahari.

# Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.

3. Sifat-Sifat Tuhan

Tuhan adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-Nya juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk menjadi obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga akal (pikiran), zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal, ‘aqil, dan ma’qul.

e. Filsafat Kenabian Al Farabi

Persoalan kenabian ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas seorang nabi bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘Aql Fa’al (akal 10) ia dapat menerima fisi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang dalam penjelasan al Farabi adalah Jibril. Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia, pertolongan Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk, seperti malaikat-malaikat lain juga, bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan nabi-nabi-Nya.

f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi

Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bisa melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jiwa dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudak memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.

g. Teori Kebahagiaan
Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia. Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai, tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur yang berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang baik adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.

h. Logika

Sebagian besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.




i. Teori Pengetahuan

Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan. Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.

j. Teori Akal
Al Farabi mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:

# Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti di kerjakan; dan
# Akal teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:
1) Akal fisik (material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek rasional yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum dipikirkan adalah potensi.

2) Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan menggunakan realisasi akal yang telah dikembangkan.

k. Teori Sepuluh Kecerdasan

Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap. Al Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya. Karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia mampu mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa akal Tuhan adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melimpah ke Al Aqlits Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani, memimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits Tsabitah, langit bintang-bintang tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang Zuhal (Saturnus). Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars). Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang ‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.

Jumlah inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.

5. KARYA-KARYA AL FARABI

Al Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam beberapa tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu. Karya-karya Al Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
b. Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan tentang-Nya.
c. Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
d. Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya)
e. Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
f. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
g. Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
h. Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)
i. Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
j. As Syiyasyah (Ilmu Politik)
k. Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
l. Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
m. Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)
n. Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)

Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!


Sumber:
http://www.anekamakalah.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html
http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html



Ibnu Batuta

Ibnu Batuta

Pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika.

''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta - pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia -- membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihla.

Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara Muslim itu. Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun kemudian setelah Ibnu Battuta.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapakah sebenarnya pengembara tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab.

Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.

Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.

Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.

Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putaran kedua, dilalu Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.

Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.

Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.

Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.

Dari Tangier ke Samudera Pasai
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai - kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai.

''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battuta.

Menurut Ibnu Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Abadi di Kawah Bulan
Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battuta terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battuta.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang. 

Penulis : heri ruslan   
REPUBLIKA - Rabu, 27 Februari 2008  

Sumber: http://www.republika.co.id/
gambar:google-search

Ibnu Sina


Biografi singkat Ibnu Sina

tokoh dan ilmuwan islamDalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi

Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.

Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.

Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banyak membantu terhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).

 Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.

Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.

Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebelah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”

Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ia juga pandai bersyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.

Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.

Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.

Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.

Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof).

Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum-minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.

Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.

Sumber: http://biografiibnusina.blogspot.com


Ibnu Rusyd (Averrose)

Biografi singkat Ibnu Rusyd



tokoh dan ilmuwan islam
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/1126 M, Ia lebih populer dengan sebutan  Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.

Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.

Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian ia kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, ia diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka keadaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya. Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.

Pemikiran Rusyd

tokoh dan ilmuwan islam
Membaca karya Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz.

Islam sendiri tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.

Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.

Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahli fikir. Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.

Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:

a.              Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.

b.           Dalil ‘inayah al-Ilahiyah  (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا. وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Artinya:  Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)

c.            Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

Artinya:  Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)

d.              Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

e.              Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.


Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.

Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).

Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.

Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
•    Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
•    Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.
•    Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.

Karya-Karyanya
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1.  Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.

2.    Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)

3.     Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi)

4.       Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).

5.  Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran) yang telah diterjemahkan ke bahasa latin dan menjadi rujukan penting kedokteran



Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

tokoh dan ilmuwan islam
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.

Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemampuan manusia dalam menenerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:

a.         Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)

b.        lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)

c.         Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)

Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)

Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.

Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya adalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)

Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.

Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa dikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.

Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi aatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.

Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

2.        Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.[9]

Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan mereka

Tanggapan Terhadap Al-Ghazali

Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah.  Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.

Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:

1.         Alam qadim (tidal bermula),

2.         Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak,

3.         Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan ini         bersifat metaforis,

4.         Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,

5.         Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud,

6.         Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,

7.         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,

8.         Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi

9.         Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),

10.     Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak   dapat   berubah),

11.     Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara                         universal,

12.     Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,

13.     Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,

14.     Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,

15.     Tujuan yang menggerakkan,

16.     Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,

17.     Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,

18.     Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,

19.     Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.

20.     Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.

Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.

a.         Pedapat Filosuf tentang  Qadimnya Alam

Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.

Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.

Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:

فَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ * يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).

Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.

Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.

Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.

Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.

Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran. Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:

1.        Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.

2.        Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.

3.        Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.

b.        Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan

Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).

Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.

Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.

Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.

Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;

Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat jelas mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.

Jadi, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?

c.         Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani

Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.

Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:

“…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”

Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut:

“… perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.

Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi.

Gerakan  Averroisme di  Eropa
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan). atau Prima Causa menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup. Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa. Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.

Barat Terkagum Karya Rusyd

Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et j'averroisme mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam "Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa dari pada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.

"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker, atau seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.

Kesimpulan

Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam,” tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.”

Sumber:              
http://cahayasiroh.com/
http://syafieh.blogspot.com/
gambar:google-seach