Biografi Singkat AL FARABI
1. BIOGRAFI AL FARABI
Nama lengkapnya
adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir
pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah
Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan.
Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun,
tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya
berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang
Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
Dikalangan orang-orang latin abad pertengahan
Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama
julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij
di Distrik Farab (Utara, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M),
kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang
Iran menikah dengan wanita Turki.
Sangat sedikit yang
kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut
tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar
belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada
Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani
Abbasyyah. Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas
menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti
Samaniyyah. Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M
pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir)
kota bagian selatan.
2. PENDIDIKAN AL FARABI
Sejak kecil
Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai
kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan
sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu
Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di
Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.
Pada masa mudanya,
di kota kelahirannya, al-Farabi banyak belajar beragam disiplin ilmu, mulai
dari fikih, tafsir, hingga logika. Namun semua penjelasan gurunya tidak
memuaskan dirinya. Al-Farabi kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad inilah, al-Farabi bertemu
sekaligus belajar dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu
pengetahuan. Al-Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr
al-Sarraj: belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius
(seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemah filsafat Yunani dan Yuhana
bin Hailam (juga seorang filosof Kristen). Al-Farabi bahkan sempat pergi ke
Harran, daerah yang berada di wilayah tenggara Turki yang dikenal sebagai pusat
kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran
ini pula lah, konon orang tua nabi Ibrahim as. lahir dan dibesarkan, sekaligus
menjadi tempat lahirnya bapak para nabi itu
Untuk memulai karir
dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922
M. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman
integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hampir semua pelajaran yang
dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan. Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat,
logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu
lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik. Di Baghdad, Beliau berguru kepada
Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn
Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang
Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan
filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi
pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami
filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam
belajar, mengajar, dan menulis filsafat.
3. KARIER AL FARABI
Al-Farabi dipandang
sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi
filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang
menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut
Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka
menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru
pertama”-nya disandang oleh Aristoteles.
Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim
pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara
pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh
Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles
tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof
sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof
besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya
Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum
mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang
khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai
paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Pada tahun 330 H
(945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah
Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu
dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan
lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan
pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan
zuhud. Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana
dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup
sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi
hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari.
Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut
secara berpindah-pindah. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80
tahun.
4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI
Pokok-pokok
pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
a. Filsafat Al Farabi
Al Farabi
mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat,
yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang
ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua
wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada
golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan
kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan
negara. Al Farabi berhasil meletakkan
dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak
ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan
berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.
Al Farabi
mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari
kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.
Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala
yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke
situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan
kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya
(kaum). Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui
Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif
bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan,
dan keadilan-Nya.
Al-Farabi
menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori
emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan
empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang
Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib
al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur
(berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan
sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya
sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang
disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal);
al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang
menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika
teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai
al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir
tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I →
al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II
→ al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III
→ Saturnus.
4. Wujud IV itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV →
Jupiter.
5. Wujud V itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V →
Mars.
6. Wujud VI itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI
→ Matahari.
7. Wujud VII itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal
VII → Venus.
8. Wujud VIII itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII
→ Mercury.
9. Wujud IX itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX →
Bulan.
10. Wujud X itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X →
Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api,
udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif)
yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi
bentuk, form).
Al-Farabi membagi
wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang
tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun
yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya
berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang
tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi
yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X
(Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah),
artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya
berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang
berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk ,
berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia,
menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
1) daya gerak
(quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara
(murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa:
merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3) daya berpikir
(al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan
akal teoretis (‘aql nazharī).
Dan al-‘aql
al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan:
1) al-‘aql
al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi
berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari
materinya;
2) al-‘aql bi
al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti
(māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal
yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3) al-‘aql
al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap
bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya
(pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa
berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang
dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang
bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat
akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql
mustafād ibarat mata dan matahari.
b. Filsafat Politik Al Farabi
Pemikiran al-Farabi
yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah
berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara
Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa
mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai
kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama.
Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya
masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum,
seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana;
5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter
umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus
memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql
mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal
ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai
tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa
diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada
tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka
negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di
antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu
orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan
keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli
pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan
komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah
(negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai
dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing
(tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Al Farabi
berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk
tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan
tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat
melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan
cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk
operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini
haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya diantara yang ada. Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik
jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.
Pemikiran al-Farabi
yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk
merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi
(w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w.
925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan
diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi).
Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql
fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada
tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu
berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat
limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di
dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight
khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama.
Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga
dikatakan bahwa: “setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu
seorang nabi”.
c. Definisi dan Esensi Jiwa
Al Farabi
mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal
bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.
Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia
dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian
makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui
perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna
‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan
hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
d. Filsafat Metafisika Al Farabi
Pembicaraan
metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.
1. Ilmu Ketuhanan
Al-Farabi membagi
ilmu ketuhanan menjadi tiga, yaitu:
# Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi
padanya sebagai wujud.
# Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu
teori juz’iyat (particulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu
mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya.
# Membahas semua wujud yang tidak berupa
benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.
2. Wujud
Al Farabi membagi
wujud kepada dua bagian, yaitu:
# Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena
lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada
matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud.
Dengan kata lain cahaya adalah wujud
yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud
yang nyata karena matahari.
# Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah
wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang
diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada, maka
yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua
wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.
3. Sifat-Sifat Tuhan
Tuhan adalah
tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni,
karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah
benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda,
maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-Nya juga menjadi obyek
pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk menjadi
obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia
adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan
zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi
obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga akal (pikiran),
zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal,
‘aqil, dan ma’qul.
e. Filsafat Kenabian Al Farabi
Persoalan kenabian
ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana
secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi).
Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak.
Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang
harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas
seorang nabi bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana
obyek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan
dengan ‘Aql Fa’al (akal 10) ia dapat menerima fisi dan kebenaran-kebenaran
dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang
dalam penjelasan al Farabi adalah Jibril. Wahyu mudah dan jelas diterima oleh
manusia, pertolongan Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk,
seperti malaikat-malaikat lain juga, bertugas sebagai penghubung antara Tuhan
dengan nabi-nabi-Nya.
f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi
Al Farabi adalah
seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya
menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bisa melihat teori sufi yang
merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat
dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf
dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun
politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi
adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata
yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jiwa dan menjauh dari segala kelezatan guna
mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi
tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa
menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal
badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan
tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudak memiliki keutamaan
alamiah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.
g. Teori Kebahagiaan
Menurut Al Farabi,
kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah
tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional
dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat
mewujudkan kebahagiaan bagi manusia. Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang
bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian
lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai,
tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur yang berasal dari berbagai situasi
dan bakat yang terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat
dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat yang
menjadi sumber perilaku yang baik adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan
tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi
mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan,
yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk
adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.
h. Logika
Sebagian besar
karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya
terbatas pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh para
sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya
memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang
besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan
dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, ‘logika
mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti’,
sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra
dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan
menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi,
volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.
i. Teori Pengetahuan
Al Farabi
berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke
dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud
melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil
penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan
indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan
kemanusiaan. Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita
informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah
segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya
dapat diperoleh melalui akal.
j. Teori Akal
Al Farabi
mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:
# Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang
mesti di kerjakan; dan
# Akal teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan
jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:
1) Akal fisik
(material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi sebagai akal
potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan
mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai
materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi dari akal
fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang
kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal
bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek rasional
yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum dipikirkan
adalah potensi.
2) Akal diperoleh (acquired).
Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi
manusia sejati dengan menggunakan
realisasi akal yang telah dikembangkan.
k. Teori Sepuluh Kecerdasan
Teori ini menempati
bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan
bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika
dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah memecahkan masalah yang Esa dan
yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap. Al Farabi
berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya. Karena
itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia mampu
mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang
bukan berupa benda. Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi
dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa akal Tuhan
adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul, Tuhan dapat
mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru
atau akal baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al Aqlul
Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul tentang
pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melimpah ke Al Aqlits
Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha (langit yang paling
luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani,
memimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits
Tsabitah, langit bintang-bintang tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis melimpah ke
Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang Zuhal (Saturnus).
Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit
bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama
bintang Mirris (Mars). Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan
munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit
bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang
‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan
Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active
Intellect.
Jumlah inteligensi
adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi
planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi
memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika
memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi
Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.
5. KARYA-KARYA AL
FARABI
Al Farabi
meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan
dalam beberapa
tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan
beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu. Karya-karya Al
Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Risalah Shudira
Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
b. Risalah fi Jawab
Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan
tentang-Nya.
c. Syarh Kitab al
Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
d. Syarh Kitab al
Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit
dan Alam Raya)
e. Al-Jami’u Baina
Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan
Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
f. Tahsilu as
Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
g. Fushus al Hikam
(Permata Kebijaksanaan)
h. Fususu al Taram
(Hakikat Kebenaran)
i. Kitab fi al Wahid
wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
j. As Syiyasyah
(Ilmu Politik)
k. Kitab al Millat
al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
l. Ihsho’u Al Ulum
(Kumpulan Berbagai Ilmu)
m. Arroo’u Ahl
al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)
n. Al-Siyasah
al-Madaniyah (politik pemerintahan)
Demikian sekilas
soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis
dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat
karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana
dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih
pada sesama. Semoga…!!!
Sumber:
http://www.anekamakalah.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html
http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html
No comments:
Post a Comment