Biografi singkat Ibnu Rusyd
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia
(Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang
serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi
lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman
kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark
middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan
munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk
mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian
dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Dunia barat (Eropa)
pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan
karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi
Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris,"
tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam”.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya
dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun
yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam
filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles
dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles
sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles
Nama lengkapnya, Abu Walid
Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di
Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/1126 M, Ia lebih populer dengan
sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat
menyebutnya dengan sebuah nama Averrois.
Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari
keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki
banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada
tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi
al-Qudhat di Cordova.
Tak seperti
anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin
ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti
matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.
Itu sebabnya, Ibnu
Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad,
ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf
Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya
pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku
Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan
ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi,
logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut
tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi
filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya.
Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan
kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur
Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga
ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama
kalinya yakni sebagai hakim pada
tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian ia kembali ke Cordova, sepuluh tahun
di sana, ia diangkat menjadi qhadi,
selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai
seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan
Istana, terutama di zaman Sultan Abu
Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya
di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu
timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat
pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka keadaan menjadi berubah,
Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa
aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd
ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak
disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Tak hanya
itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya. Sejak
saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam.
Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ibnu
Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko
dan meninggal di sana dalam usia 72
tahun pada tahun 1198 M.
Pemikiran Rusyd
Membaca karya Ibnu Rusyd, yang
paling menonjol adalah aspek falsafaty
(estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam
mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu
membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan
bukan artikulasi lafadz.
Islam sendiri tidak melarang
orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya
untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan
interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan
arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang
dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.
Dalam kaitan
kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok: awam,
pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat
ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga
kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis
dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.
Dalam cakra pandang
itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan dipahami
oleh ahli
fikir. Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama
dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat
bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Berkaitan dengan
penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum
sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil
tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika
pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd
menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya
Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya.
Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau
juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang
menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal
Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya,
seperti al-Farabi dan Ibnu Sina
dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat
ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut.
Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa
komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa
besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk
menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun demikian,
walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam
berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd
juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya
sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
Dalam pembuktian
terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
a. Dalil wujud Allah. Dalam
membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan
oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah
digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam
berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang
khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah
(pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam
kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan
kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia.
Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang
sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang
mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7
أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا. وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا
Artinya: Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan?,. dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)
c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena
ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan
berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita
mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah
yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa
tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin
mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala
sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas
ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka
bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)
d. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang
digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini
tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis
gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang
bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama
sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga
berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e. Sifat-sifat Allah. Adapun
pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib
dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang
harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan).
Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
Menurut Rusyd,
benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan
dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak,
selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan
menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari
tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran
Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang
memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi
form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Hal lain yang tidak
lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali
terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul
Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis
Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat
keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal.
Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan
ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa.
Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah
jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi
Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga
jasmaniyah.
Rusyd juga
mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan
memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip
epistemologis, yaitu:
• Pertama, keharusan untuk memahami 'yang
lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari
penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu
Yunani.
• Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan
barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub
dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak
ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di
antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk
berbeda harus dihargai.
• Ketiga, mengembangkan sikap toleransi.
Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan
mencari kebenaran. "Tujuan saya,"
kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya
berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh
orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari
kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari
perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan
nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan
pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan
Islam di abad pertengahan.
Karya-Karyanya
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd
juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd
benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya
adalah sebagai berikut :
1. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan
menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam
menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan
dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia
kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif
untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para
filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi
menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian,
rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti halnya
paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun
kemabli rantai penalaran secara aposteriori.
2. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa
al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab
ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
3. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id
al-Millat, (berisikan kritik
terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi)
4.
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).
5. Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran)
yang telah diterjemahkan ke bahasa latin dan menjadi rujukan penting kedokteran
Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal
ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib.
Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang
wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya,
sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin
sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud
atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati
pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan
mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi
ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan
dasar-dasar Syar’iy maka ada
beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang
memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya
mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh
agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa
membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi
Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam
itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau
terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemampuan
manusia dalam menenerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan
berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh
pengetahuan yakni:
a. Lewat metode al-
Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat metode
al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat metode al-Burhaniyyah
(demonstratif)
Pertama, Metode Khatabi
digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu
orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab
tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan
kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali
dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika.
Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan
oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan
filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan
dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada
mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik.
Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa
menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya adalah karena tujuan ta’wil itu
tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara
interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan
mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan
menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat
dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa
mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam,
sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan
kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi
literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode
ta’wil bisa dikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an
kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan
Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula
dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan
persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan
ketika terjadi kontradiksi aatara gagasan Qur’anik dengan konsep
rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy
memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas
burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri
didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang
keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan
suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz.
Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena
adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau
faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris)
dalam nash sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris)
yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman
kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran .
Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah
untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan
kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna
dibalik lafaz yang tersurat.
2. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal).
Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”.
Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan
ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.[9]
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam
pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut
mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil
dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan mereka
Tanggapan Terhadap
Al-Ghazali
Ibnu Rusyd di kenal
oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat
dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali
berjudul Tahafutut Falasifah. Dalam
bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat
Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela
Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat
dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum
kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd,
kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam
mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali adalah
sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd
adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam
Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian
dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur
dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang
lainnya.
Melalui buku
Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan
kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut,
menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan
tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan
jasmani.
Sehubungan serangan
dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan
dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut
al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn
Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:
1.
Alam qadim (tidal bermula),
2. Keabadian (abadiah) alam, masa dan
gerak,
3. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan
bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan ini bersifat metaforis,
4. Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi
Penciptaan alam,
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu
dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud,
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,
7. Kemustahilan konsep genus (jins)
kepada Tuhan,
8. Wujud Tuhan adalah wujud yang
sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan
tubuh (jism),
10. Argumen rasional tentang sebab dan
Pencipta alam (hukum alam tak
dapat berubah),
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya
dan Tuhan mengetahui species dan secara universal,
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya
sendiri,
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala
sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,
14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi
Tuhan dengan gerak putarnya,
15. Tujuan yang menggerakkan,
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui
partikular-partikular yang bermula,
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami
peristiwa-peristiwa,
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual
yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh
dan bukan tubuh,
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat
hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan
kehancurannya.
20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari 20 persoalan
ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu:
pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan
atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu
dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
a. Pedapat Filosuf tentang Qadimnya Alam
Namun menurut
Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu
dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti
alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat
seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.
Ibn Rusyd, begitu juga
para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio
ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau
kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi
ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Pendapat ini
didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan
menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal
ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:
فَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ * يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“Karena itu
janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan.
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian
pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke
hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).
Ayat ini, menurut
Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi
telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta
kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi.
Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog
Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min
al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya
Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini
mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim,
alam ini qadim, artinya alam ini
diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi Ibnu Rusyd,
Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang
filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya
Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan
adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari
tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak
mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena
itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini
juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan
masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian
Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan
adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita
membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat
(wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah
gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang
tentu belum adanya masa.
Dalam perdebatan di
atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak akan
pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf
dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran.
Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau
telah menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para
pengikut keduanya, sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.
Dalam Fashl
al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam
ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa
segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
1. Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu
yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan
dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan,
udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
2. Jenis Kedua, wujudnya tidak karena
sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka
namakan dengan qadim. Ia hanya dapat
diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan
memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di
tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi
berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena
sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada
kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan
jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan
dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak
didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya
dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang
mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim.
Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan
tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa
sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.
b. Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan
Tuhan
Masalah Kedua yang
digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf
berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil,
kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan
segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang
diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan
perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau
sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat
Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Kritik al-Ghazali
kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui
tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu,
tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut
Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga
setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu
diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang
dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara
rinci.
Mengenai penjelasan
di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil,
tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan
Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal
ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil
tersebut.
Ibn Rusyd rupanya
ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn
Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang
mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang
perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian
itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf
timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan
manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca
indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan
tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung
dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.
Pendapat kedua
fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua
pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir
tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan
Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;
Tuduhan yang
menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan
kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat jelas
mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas
dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa
pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan
keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu
pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah
itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada
sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan
Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran
manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”.
Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.”
Jadi, dalam hal ini
apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal
pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak
mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak
permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada
kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan
Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?
c. Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan
Jasmani
Masalah yang ketiga
yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir
ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap
hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah
mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup
kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain.
Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang
semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik
yang tidak sempurna.
Al-Ghazali tidak
sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia
tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi
yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:
“…adalah
bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan
bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh)
yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan
dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam membantah
gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani
melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika
manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan
dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut:
“… perbandingan
antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa
itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur
dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan
atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada
saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang
dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak
atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar
yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal
inipun terang gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat
kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada
saat tidur mereka.
Perdebatan di atas
sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara
Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd
adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap
Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali
terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi.
Gerakan Averroisme di
Eropa
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran
filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir
Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat
pada abad ke 13-17.
Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah
al-Muwahhidun setelah kematian Abu
Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf
al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd,
sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova.
Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang
membaca karya-karyanya.] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides,
Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di
Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan
pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku
Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan
sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan
gereja.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya
gerakan Averroisme di Barat yang
mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah.
Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap
pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya
sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara
terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334)
serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya
mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.
Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan
diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan
Antonius van Parma.]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan
menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan
rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian
mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan
penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat
rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan,
sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke
Barat.
Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara
lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori
gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia
ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak
yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada
kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd
disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan). atau Prima Causa menurut Aristoteles.
Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam
pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala
sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara
seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu
Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu
Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah
secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah
diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut
Pada tahun 1270, paham Averroisme
yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap
ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M
pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger
van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian.
Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang
universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak
tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar.
Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan
hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup. Pendapat lain mengatakan sejak
tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860
orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.
Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak
membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin
menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa. Apalagi setelah Johannes
mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar,
baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.
Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang
melahirkan renaisans di Eropa,
artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani dan
Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja
sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14
hingga sekitar pertengahan abad ke-17.
Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah
dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya.
Kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme
meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan
wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari
filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
Barat Terkagum Karya Rusyd
Pemikiran dan
karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd
berjudul Averroes et j'averroisme
mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam
berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia
Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam
"Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa dari pada
milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran
Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis
Gillaume.
"Ibnu Rusyd
adalah seorang rasionalis, dan
menyatakan berhak menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali
dogma-dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker, atau
seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.
Kesimpulan
Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat
yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim
seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan
utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya
berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu
mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta
kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya
demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat
pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya
diketahui bahwa diantara filsuf Islam,” tidak ada yang menyamainya dalam
keahliannya dalam bidang figh Islam.”
Sumber:
http://cahayasiroh.com/
http://syafieh.blogspot.com/
gambar:google-seach
No comments:
Post a Comment