Biografi
Singkat Al-Kindi
Siapa sebenarnya Al-Kindi? Tidak lain
adalah seorang ulama filsuf (filosof) muslim pertama keturunan arab yang
memiliki nama lengkap: Abu Yusuf Yakub
ibn Ishaq ibn al-Sahabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi.
Lebih populer di kampus-kampus dan seminar-seminar filsafat dengan sebutan
al-Kindi, dinisbatkan kepada Kindah yaitu suatu kabilah terkemuka pra Islam
yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kindah sendiri
sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki
apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang
Setelah menyelesaikan pendidikan
dasarnya, al-Kindi pindah ke Basrah, Irak, untuk menambah pengetahuannya di
berbagai bidang. Setelah itu, ia pindah lagi ke Baghdad untuk melanjutkan
kuliah. Al-Kindi dikenal sebagai seorang filosof yang mahir kimia dan
matematika. Dalam sejumlah karyanya, al-Kindi sering membahas masalah logika
dan matematika. Ia juga sering mengulas buku karya Aristoteles
Tidak ada kepastian tentang tanggal
kelahiran, kematian dan siapa-siapa saja ulama yang pernah menjadi guru
Al-Kindi. kecuali kepastian bahwa ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H
atau 801 M dari pasangan keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy`as ibn Qais adalah salah seorang
sahabat nabi yang gugur bersama Sa`ad ibn Abi Waqqas dalam perang jihad antara
Kaum Muslimin dengan pasukan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya Ishaq ib al-Shabbah adalah seorang gubernur di Kufah pada
masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya wafat
ketika al-Kindi masih kanak-kanak, namun ia tetap mendapatkan kesempatan
menuntut ilmu dengan baik di Bashroh dan Baghdad serta dapat bergaul dengan
para pemikir Islam terkenal masa itu.
Dalam catatan biografi al-Kindi,
al-Muntakhab, dikatakan bahwa ia adalah muslim pertama yang terkenal di bidang
filsafat. Sejumlah karya, terjemahan, dan koreksi terhadap hasil karyanya
sendiri adalah bentuk sumbangsihnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ia
adalah tokoh yang memperkenalkan masalah
metafisika, psikologi, etika, dan metode pendekatan secara logika serta
ilmiah kepada masyarakat muslim Arab. Para ilmuwan Arab menganggapnya sebagai pendiri Filsafat Muslim Arab.
Seorang filosof sempurna dan pemikir yang bijak. Karya-karyanya yang luar biasa
membuat namanya berada pada posisi tertinggi di bidang ilmu pengetahuan.
Diperkirakan Al-Kindi hidup semasa
dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah saat dipimpin oleh Al-Amin, 809-813 M;
Al-Ma`mun, 813-833 M; Al-Mu`tashim, 833-842 M; Al-Watsiq, 842-847 M; dan
Al-Mutawakkil, 847-861 M. Pada saat itu, Dinasti Abbasiyah sedang mengalami
masa-masa kejayaan dan perkembangan dalam dunia intelektual khususnya faham
mu`tazilah.
Selain sebagai filsuf, al-Kindi juga
dikenal sebagai penerjemah mahir. Menurut Ibn Juljul dalam bukunya Thabaqat
al-Thibba (golongan dokter), menyebutkan bahwa dalam Islam ada 5 orang
penerjemah mahir dan salah satunya adalah al-Kindi. 4 orang lainnya yaitu: Hunain ibn Ishaq, Ya`qub ibn Ishaq, Tasbit
ibn Qurrah, dan Umar ibn Farkhan al_thabari.
Sehubungan dengan bidang
penerjemahan, pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma`mun, Al-Kindi dikenal
sangat berjasa dalam gerakan penerjemahan dan menjadi seorang pelopor yg
memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriah, dan India kepada dunia Islam
melalui lembaga Bait al-Hikmah. Di lembaga ini pula, al-Kindi pernah menjadi
dosen pengajar atas undangan Khalifah Al-Ma`mun sekaligus mengasuh Ahmad,
putera Khalifah Al-Mu`tashim.
Berbeda seperti zaman sekarang, di
mana seorang ulama hanya menguasai satu cabang keilmuan yg mahir, maka Al-Kindi
sama seperti tradisi keilmuan para ahli pada masanya maupun masa-masa sebelum
dan sesudahnya, yaitu menguasai lebih dari satu cabang keilmuan mahir khususnya
ilmu-ilmu yg sedang berkembang saat itu (di Kufah dan Baghdad).
Di antara cabang keilmuan yg dikuasai
al-Kindi dan diakui dunia hingga saat ini antara lain seperti: ilmu kedokteran, aljabar (matematika), ilmu
falak, filsafat, semantik dan bahasa, geometri, astronomi (planet),
farmakologi, ilmu jiwa, optika, politik, spiritualistik, metafisika, musik,
bahkan ia juga dikenal sebagai penulis lagu. Banyak istilah-istilah yang
dirubah dan dikembangkan oleh al-Kindi bahkan mendapat perhatian dan masih
digunakan oleh kalangan ilmuan saat ini seperti: Jirm (tubuh) dirubah al-Kindi
menjadi Jism, al-tamam (akhir) menjadi al-ghayah, thinah (materi) menjadi
maddah, al-tawahhum (imaginasi) menjadi al-takhayyul, al-galibiyyah (nafsu
birahi) menjadi al-ghadhabiyah, al-quniah (sifat dan sikap) menjadi al-malakah,
dan istilah al-jami`ah (sillogisme) menjadi al-qiyas.
Dengan kecerdasan dan keahlian yang
dimilikinya, al-Kindi juga menulis buku tentang kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam bukunya yang berjudul
Risalah fi Istikhraj al-Mu’amma atau Manuscript for the Deciphering
Cryptographic Messages itu, ia menjelaskan beberapa cara menguraikan kode
rahasia. Ia juga mengklasifikasikan kode rahasia tersebut, menjelaskan ilmu
fonetik Arab dan sintaksisnya. Lewat buku tersebut, al-Kindi memperkenalkan
penggunaan metode statistika untuk memecahkan kode rahasia. Pengalamannya
bekerja sebagai penerjemah sandi rahasia dan pesan tersembunyi yang terdapat
dalam naskah asli Yunani dan Romawi, telah mempertajam naluri al-Kindi di
bidang kriptoanalisa. Sehubungan
dengan itu, ia pernah menjabarkan pengalamannya tersebut dalam sebuah makalah.
Di kemudian hari, makalah tersebut dibawa ke Barat untuk diterjemahkan dan
diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages.
Tidak hanya menguasai ilmu
kriptografi, al-Kindi juga pakar di bidang matematika. Ia telah menghasilkan
beberapa buku mengenai sistem penomoran, yang kemudian menjadi dasar aritmatika
modern. Selain itu, al-Kindi juga memberikan kontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat
mendukungnya dalam studi astronomi. Bersama al-Khawarizmi dan Banu Musa
bersaudara, ia diberi tugas menerjemahkan karya-karya filosof Yunani dalam
bahasa Arab oleh Khalifah al-Makmun.
Al-Kindi sangat mengagumi pemikiran
para filosof Yunani – Romawi. Ia sangat terilhami oleh dua filosof besar
Yunani, yaitu Socrates dan Aristoteles.
Pengaruh kedua tokoh ini bisa dilihat dalam beberapa karya al-Kindi.
Memperhatikan tahun lahirnya, dapat
diketahui bahwa al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya,
Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid
yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan
bagi kaum muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan
sekaligus pusat ilmu pengetahuan. A. Rasyid mendirikan semacam akademi atau
lembaga, tempat pertemuan para
ilmuwan yang disebut Bayt Al-Hikmah
(balai ilmu pengetahuan). Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika
al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai
Khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk
mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan
mengembangkan usaha susah payah ayahnya. Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813
M), kemudian digantikan oleh saudaranya Al-Makmun.
Pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat
pesat. Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil
dipertemukan antara ilmu-ilmu ke-Islaman
dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa ini juga dilakukan
penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim sangat pesat karena
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada waktu inilah al-Kindi
muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk
menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar
terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.
Al-Kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya memperoleh
pendidikan di Bashrah. Tentang siapa
guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya.
Tetapi dapat dipastikan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan
kurikulum pada masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis, dan
berhitung. Setelah menyelesaikan pelajaran dasar-nya di Bashrah, ia melanjutkan
ke Baghdad hingga tamat. Al-khindi mahir sekali dalam berbagai macam cabang
ilmu yang ada pada waktu itu. Pendeknya
ilmu-ilmu yang berasar dari Yunani juga ia pelajari, dan
sekurang-kurangnya salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan kala
itu ia kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani
inilah al-Kindi menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Namun al-Kindi menanjak
setelah hidup di istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim yang menggantikan
Al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru
pribadi pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah
al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Makmun
menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
Membahas tentang mengapa al-Kindi
tidak disebutkan ahli filsafat Islam yang pertama dan kehormatan ini diberikan
kepada Farabi? Memang bermacam-macam fikiran orang tentang gelar itu.Ada yang
memasukkan al-Kindi ke dalam golongan ahli filsafat dan menamakan dia ahli
filsafat Islam yang pertama. Ada juga yang memberikan gelar ahli filsafat Islam
yang pertama kepada Farabi dengan alasan, bahwa al-Kindi hanya merupakan
penerjemah pertama dari kitab-kitab filsafat yunani ke dalam bahasa arab,
karena al-Kindilah anak Arab yang pertama mengupas filsafat dalam bahasa Arab.
Sesudah mengikuti apa yang disebutkan
diatas, maka salah paham orang terhadap al-Kindi mudah dihindarkan. Jikalau
kita mengakui bahwa al-Kindi bukan hanya sekedar penerjemah kitab-kitab filsafat
Yunani, tetapi juga mengupas isi filsafat Aristoteles dan Plato, dan
menyalurkan kepada suatu filsafat yang dapat diterima oleh islam. Maka dengan
tidak ragu-ragu al-kindi dapat dinamakan ahli
filsafat Islam yang pertama, tetapi ia kalah dalam susunan bahasa yang
indah, seperti yang pernah dikerjakan oleh Farabi, yang lebih jelas
mengemukakan analisa dan pendirian-pendirian filsafat Islam. Sehingga filsafat
yang dikemukakan oleh Farabi itu merupakan corak filsafat Islam yang sudah
nyata bentuknya, meskipun rintisan kearah itu telah dibuka sebelumnya oleh
al-Kindi. Lalu Farabi terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang pertama, yang
buku dan bahasanya yang indah, sesuai dengan kemajuan kesusasteraan Arab dikala
itu, dibaca orang dalam kalangan luas dan mendapat perhatian penuh dari umum,
terutama dari penulis-penulis sejarah.
Lain dari pada itu al-Kindi banyak
musuhnya, tidak saja karena ia seorang yang
terpandai, tetapi juga karena ia seorang yang terdekat dengan istana dan
mempunyai pengaruh terhadap aliran-aliran tertentu. Tidak pula kita lupakan
suatu hal yang terpenting, yang merupakan mega kemasyhuran al-Kindi, bahwa
kitab-kitabnya banyak yang hilang, dan lama kemudian dari pada matinya baru di
ketemukan orang kembali serta dibicarakan, lama sesudah orang sepakat
memberikan gelar kehormatan kepada Farabi. Tetapi ia tetap merupakan perintis
filsafat Islam yang pertama. Dr. Madkur
menyebut dia, “mu’assis awwal lil madrasah falsafiyah islamiyah“. (peletak baut
pertama bagi aliran filsafat Islam).
Mustafa Abdurraziq juga menjunjung
al-Kindi sebagai ahli filsafat Islam yang pertama karena tiga hal:
1.
Al-Kindi mula-mula membagi
falsafat dalam 3 ilmu, yaitu ilmu ketuhanan, ilmu pasti, dan ilmu alam,
ketiga-tiganya adalah merupakan dasar filsafat Islam.
2. Bahwa al-Kindilah yang mula-mula
membuka jalan ke arah filsafat Islam dengan mempertemukan dua pendapat yang
berbeda antara Plato dan Aristoteles, sehingga dengan demikian itu bertemu
pulalah agama dengan filsafat.
3.
Bahwa al-Kindi adalah seorang Arab Islam yang mula-mula merintis membuka
ilmu filsafat ini, sehingga ilmu itu tersiar diantara orang Arab dan dalam
kalangan Islam.[11]
Ibnu Usaibi’ah mengatakan tentang
al-Kindi: “tidak ada dalam dunia Islam orang yang masyhur tentang ilmu filsafat
pada masanya selain dari al-Kindi, sehingga ia berhak dinamakan filosof Islam”.
Ibnu Nutabah juga berkata dengan jelas: “al-Kindi ialah Ya’kub bin Sibah, yang
dalam masa hidupnya dinamakan filosof Islam”.
Dengan demikian hampir semua orang
menamakan al-Kindi filosof Islam pada waktu hidupnya, sampai lahirlah Farabi
menutupi kemasyhurannya. Farabi masyhur karena karangan-karangan al-Kindi,
Farabi digelarkan “guru yang kedua” karena ia mengupas filsafat yang kedua
lebih mendalam dan lebih tegas, yang oleh al-Kindi baru hanya
disinggung-singgung dan yang oleh Aristoteles baru digugat-gugat, sehingga
dengan demikian Farabi beroleh gelar, disamping Aristoteles sebagai guru
pertama, guru kedua dalam ilmu filsafat. Memang sudah menjadi kebiasaan dalam
sejarah, yang memulai menderita susah payah, yang menyudahi biasanya beroleh
kemenangan. Tetapi bagaimanapun juga, jasa penanam bibit dan perintis jalan
tidak mudah dilupakan orang.
Karya-Karya
al-Kindi
Al-Kindi dikenal juga sebagai penulis
buku yang aktif. Diperkirkan karya buku yang telah ditulisnya tidak kurang dari
270 buah yang membahas berbagai bidang keilmuan dan persoalan umat.
Berikut ini beberapa karya al-Kindi
yang terkenal:
1.
Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah
al-Ula (tentang filsafat pertama);
2.
Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il
al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat
yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika);
3.
Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilmi
al-Riyadliyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu
pengetahuan dan matematika);
4.
Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang
maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya);
5.
Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang ilmu
pengetahuan dan klasifikasinya);
6.
Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang
definisi benda-benda dan uraiannya);
7.
Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang
substansi-substansi tanpa badan);
8.
Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang
ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif);
9.
Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al_ruhaniyah ( sebuah
tulisan filosofis tentang rahasia spiritual);
10. Risalah fi
al-Ibanah ‘an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-Kawn wa al-Fasad (tentang
penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam kerusakan).
Pemikiran
tentang Metafisika
Setiap pemikiran selalu mencerminkan
zamannya. Ia merupakan hasil dari interaksinya dengan sejarah yang
melingkupinya. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa Yunani
Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”. Pada abad VII M wilayah
Islam telah mencakup Mesir, Syiria, Mesopotamia (Irak), dan Persia. Peristiwa
ini menandakan dimulainya kontak antara Islam dan filsafat Yunani, karena
filsafat Yunani telah masuk dan berkembang di daerah ini. Kegiatan
penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab itulah yang mengantarkan
intelektual Muslim untuk angkat bicara mengenai filsafat, khususnya filsafat
metafisika, al-Kindi termasuk salah satu pelopor utamanya.
Metafisika (Bahasa Yunani: μετά
(meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di
alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia. Menurut Aristoteles, metafisika adalah disiplin
ilmu yang mempelajari tentang ‘keadalahan’ sesuatu (being qua being) dan
ciri-ciri sejati (properties inherent) atas segala sesuatu. Metafisika membahas
sesuatu yang sangat umum dan mendasar. Jika diterapkan dalam kajian manusia,
maka yang dibahas adalah apa itu manusia, dari mana asalnya, siapa yang
menciptakan, untuk apa manusia diciptakan dan apa saja yang membuatnya bahagia
dan sedih. Begitu juga jika diterapkan dalam kajian alam, metafisika akan
mempertanyakan apa itu alam, siapa yang menciptakan alam, untuk apa alam diciptakan
dan. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar inilah yang dikaji oleh
metafisika.
Memaknai metafisika Al-Kindi lebih
sepesifik dari Aristoteles, yakni menyebutnya dengan nama filsafat awal
(al-falsafah al-ula). Metafisika baginya adalah ilmu yang membahas sesuatu yang
tidak bergerak, atau ilmu yang membahas sesuatu yang bersifat ilahi (divine
things). Menurutnya ia adalah ilmu filsafat yang paling mulia, karena ia
mempelajari ilmu tentang kebenaran awal yang menjadi sebab dari segala kebenaran.
Al-Kindi juga menyebutnya sebagai ‘ilmu sebab pertama’ (al-’illat al-ula),
alasannya karena semua cabang ilmu filsafat tercakup dalam disiplin ilmu ini.
Karena dia adalah awal dari kemuliaan, awal dari segala jenis, awal dari segala
tingkatan dan awal dari zaman karena dia adalah sebab adanya zaman.
Permasalah yang diangkat dalam
pemikiran metafisika al-Kindi tidak sama persis dengan apa yang dikaji oleh
metafisikanya Aristoteles dan para filosuf muslim lainnya. Isu yang dibicarakan
oleh al-Kindi terbatas pada pengklasifikasian wujud (being), alam semesta, dan
Tuhan. Metafisika al-Kindi, tidak hanya menyajikan sesuatu hal yang baru, tapi
ia senantiasa menempatkan dirinya sebagai lawan dari metafisikanya filosuf
Yunani dengan memasukan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
1. Wujud (being)
Al-Kindi membedakan sesuatu yang ada (wujud/being) menjadi dua, sesuatu
yang bersifat indrawi (al-mahsus) dan yang bersifat akali (al-ma’qul). Ilmu
yang mempelajari sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) disebut dengan ilmu
fisika (thabi’i), sedangkan ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat akali
(al-ma’qul) disebut dengan ilmu metafisika (al-falsafah al-‘ula). Dan tiap-tiap
benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’i yang disebut aniah, dan
hakikat sebagai kulli yang disebut mahiah (hakikat yang bersifat universal
dalam bentuk genus dan species). Juz’i yang dinisbatkan kepada individu yang
tampak itu menjadi bahan kajiannya ilmu fisika (thabi’i), sedangkan metafisika
mengkaji segala sesuati yang bersifat kulli, mengkaji atas mahiah sesuatu.
Menurutnya, yang terpenting bukanlah juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu,
tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah (universal).
2. Alam Semesta
Salah satu problem terpenting di
kalangan filosuf muslim adalah pembicaraan mengenai penciptaan alam semesta.
Dikatakan sangat penting, karena problem ini sangat erat kaitannya dengan
konsep tauhid (the unity of God). Telah dibahas sebelumnya, bahwa al-Kindi
termasuk seorang filosuf muslim yang tengah berusaha memadukan antara filsafat
Yunani dengan Islam. Karena itu, dalam permasalah yang krusial ini, ia lebih
memilih berpendapat bahwa alam ini diciptakan sesuai dengan apa yang
diinformasikan oleh al-Quran, oleh sebab alam ini diciptakan maka alam ini tidaklah
kadim. Menurut al-Kindi, alam ini disebabkan oleh sebab yang jauh (‘illat
ba’idat ilahy), yakni Allah. Ia menciptakan alam dari tiada menjadi ada
(creation ex nihilo).
Pendapat al-Kindi di atas berbeda
sama sekali dengan para pendahulunya, Plato (490 SM), Aristoteles (384-322 SM)
dan Plotinus (205-270 SM) yang tidak pernah berpendapat bahwa alam ini
diciptakan dari tiada menjadi ada. Menurut mereka, alam ini diciptakan dari
benda yang sudah ada sebelumnya dengan cara emanasi. Sebelum Aristoteles,
Pricles atau Proclus (411-405 SM) berpendapat bahwa alam ini bersifat kekal dan
juga gerak alam ini kekal. Ia mengemukakan delapan alasan untuk membuktikan
bahwa alam ini kekal. Pendapat mereka ini dibantah oleh al-Kindi dengan
metodologi yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut George N. Atiyeh, al-Kindi
menggunakan ilmu matematika (mathematical) dan logika (logical reasoning).
Usaha al-Kindi nampaknya tidak didukung oleh beberapa filosuf muslim, seperti
Ibnu Sina dan al-Farabi. Untuk problem penciptaan alam semesta, mereka lebih
memilih pendapatnya para filosuf Yunani dengan sedikit perubahan dalam konsep
emanasi daripada al-Kindi.
Tentang baharunya alam, al-Kindi
mengemukakan tiga argument, yakni gerak (motion), zaman (time) dan benda
(body). Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya
zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak
tanpa adanya benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
Lebih lanjut al-Kindi mengemukakan
beberapa argument untuk menetapkan baharunya alam.
a. Semua benda yang homogen, yang
tidak padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
b. Jarak antara ujung-ujung dari
benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan
potensialitas.
c. Benda-benda yang mempunyai batas
tidak bisa tidak mempunyai batas.
d. Jika salah satu dari dua benda
yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya
menjadi tidak sama besar.
e. Jika sebuah benda dikurangi, maka
besar sisanya lebih kecil daripada benda semula.
f. Jika satu bagian diambil dari
sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda
yang sama seperti semula.
g. Tiada dari dua benda homogen yang
besarnya tidak mempunyai batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
h. Jika benda-benda homogen yang
semuanya mempunyai batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya akan terbatas.
Atas dasar itulah, al-Kindi
berkesimpulan bahwa alam ini pastilah terbatas, dan ia menolak secara tegas
pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau
kadim. Pasalnya seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka
yang tinggal, apakah terbatas, ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal
terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya
tentu terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan
pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil sebagiannya,
tidak terbatas.
Sekiranya yang tinggal setelah
diambil itu tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak
terbatas, maka berarti benda itu sama besar dengan bagiannya, dan ini
kontradiktif dan tidak dapat diterima.
3. Tuhan
Setelah membuktikan bahwa alam
semesta ini diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian al-Kindi hendak
mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits).
Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, al-Kindi mengajukan beberapa
argument. Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada
suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta.
Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan.
Argumen kedua adalah keaneragaman alam.
Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid).
Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan
beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna
pertama, ia tersusun dari beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam
beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah
satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness)
berarti berragam (multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan
yang beragam. Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dia lah
Allah Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala
sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia
sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian)
yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir
tidak mungkin terjadi. Karena itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu,
yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada
sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak
mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah atau mahiah. Bukan ‘aniah karena Tuhan
tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta
alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan
juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk
genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan.
Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang
Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya
mengandung arti banyak.
Sebagaimana kebanyakan umat Islam,
Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam
beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki
ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat
kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan,
menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus
bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan
dicintai. Jadi bagi al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam
pengertian dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The
Prime Mover bukan The Creator.
Kitab
Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi
tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang
termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai
dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi
memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.
Teknik-teknik penguraian kode atau
sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu,
ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik
Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi
mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode
rahasia.
Kriptografi dikuasainya, lantaran dia
pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai
sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga
berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya
dalam studi astronomi
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia
dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi
mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam
sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya
diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ”Salah
satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah
dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita
hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu,
kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru
kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu
dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan
menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan
kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai
analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk
menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam
kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.
Filsafat
Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan
pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat,
baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah
atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi,
Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah
yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga
menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan
haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku
pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak
memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan
Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan
filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.
Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke
dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya,
daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat
eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi
tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat
potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar
Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu
macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
Penutup
Dari pemaparan singkat di atas,
terlihat bahwa al-Kindi, filosuf muslim paripatetik pertama, selalu berupaya
untuk menselaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam dengan cara mengadopsi
mana yang sesuai dan membuang atau merubah mana yang tidak sesuai dengan akidah
Islam. Usaha al-Kindi itu adalah proses islamisasi filsafat Yunani. Jadi
tidaklah benar jika dikatakan bahwa seluruh kerangka kajian filsafat Islam
seluruhnya berasal dari Yunani, sebagaimana yang dituduhkan oleh orientalis.
Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya
filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme.
Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
”Al-Kindi adalah salah satu dari 12
pemikir terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana Italia era Renaissance,
Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi
merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan.
Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M
itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail
bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga
pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar
di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.
Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang
ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi
(775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya
AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila
ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah
Qindah.
Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di
tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di
Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting
dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang
dimiliki orang pada era itu.
Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam
Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode
khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim,
Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam
menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru
dan tabib kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk
berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan
buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika
Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi
Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara
khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham
Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas
itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat
dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan
260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah
pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa
Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke
berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi,
geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi.
Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan
kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan
fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu
berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan.
Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku
itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof
Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu
filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah.
Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang
besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim
berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran
Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat
membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai
ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.
Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak
lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan,
Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya.
Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler
Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil
alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah – perpustakaan pribadi itu
– dikembalikan lagi.
Sebagai penggagas filsafat murni
dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang
mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan
realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari
segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan
Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan
Islam.
Salah seorang penulis buku tentang
studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam.
Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan
kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia
meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.
Sejarawan Felix Klein-Franke menduga
lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim
Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar
Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan
bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad
dan Baitulhikmah.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang
sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban
manusia.
Menurut Yakut al-Himawi, al-Kindi
wafat setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit. Berdasarkan penelitian dari
Mustahfa Abd al-Raziq (mantan rektor Al-Azhar) dalam bukunya: Failasuf Arab wa
al-Muallim Tsani, al-Kindi wafat sekitar tahun 252 H/866 M.
Sekilas tentang kata-kata bijaknya: "Seyogiyanya kita tidak merasa malu untuk menerima kebenaran dan mengambilnya tanpa peduli dari sumbermana datangnya; bahkan kalaupun kebenaran itu datang dari bangsa-bangsa Asing. Sebab bagi para pencari kebenaran, tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak pernah menghindar dari orang yang menerimanya; kebenaran tidak pernah merendahkan orang yang menerima kebenaran, sebaliknya selalu membuatnya mulia". (http://princesmandachibiy.blogspot.com)
Sekilas tentang kata-kata bijaknya: "Seyogiyanya kita tidak merasa malu untuk menerima kebenaran dan mengambilnya tanpa peduli dari sumbermana datangnya; bahkan kalaupun kebenaran itu datang dari bangsa-bangsa Asing. Sebab bagi para pencari kebenaran, tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak pernah menghindar dari orang yang menerimanya; kebenaran tidak pernah merendahkan orang yang menerima kebenaran, sebaliknya selalu membuatnya mulia". (http://princesmandachibiy.blogspot.com)
sumber:
http://forum.kompas.com
http://saviraartameviasaharani.blogspot.com
http://anisuryani.weebly.com
http://isidunia.blogspot.com
http://serunaihati.blogspot.com
http://kumpulanmakalahkuliah.blogspot.com
http://makalahmeza.blogspot.com
No comments:
Post a Comment